Saya, Itu Saja


Saya adalah nafas. Salah! Itu bacaanmu saja. Yang benar, saya adalah seorang manusia yang masih diberi jatah untuk bernafas. Berkedip juga. Semua orang menamai saya Nahi Fahmi sebagai seorang lelaki. Tapi anehnya, ada yang manggil dengan sebutan ogo, cungkring, yayay dan yang sejenisnya. Katanya itu panggilan kesayangan. Alhamdulillah ada yang sayang juga.

Saya terjun ke dunia pada tanggal 18 November tahun 1996 dari rahim perempuan shalihah, namanya Masiyah. Dia asli orang Indonesia, tapi keturunan Kebumen, Jawa Tengah. Sekarang dia tinggal di Bandung. Katanya dia sayang kakek saya. Sudahlah tak usah panjang-panjang bicarain ibu, takut gibah. Juga ujungnya, pasti saya bilang sayang untuknya.

Ibu saya dinikahi oleh seorang tentara. Katanya dia pernah nembak ibu saya, sambil bawa bunga dihatinya. Itulah yang menyebabkan saya menyebutnya seorang tentara. Dia berinisialkan DM. Nama tidak disamarkannya ialah Dami Mahdi. Dia sungguh seorang pahlawan. Terima kasih ayah.

Saya juga punya kakak, namanya Fatih. Dia seorang kakak yang pekerja keras, sama seperti ayah dan adiknya, saya pastinya. Tanggal 28 Januari 2016 ini, katanya Dia bekerja di tempat kerjanya sebagai tukang angkut barang. Entah apa nama tokonya, saya tidak pernah dikasih tahu atau juga karena saya belum pernah menanyakan tentang itu. Badannya sih tidak besar, kecil seperti saya, tetapi hatinya itu yang besar. Sampai saat ini dia sudah berani memberi nafkah istrinya, Tia, dan putrinya, Sisil yang baru berusia tiga tahun lebih. Sekarang mereka tinggal di daerah Kamasan, Banjaran.

Di Cirengit saya tinggal. Saya tinggal di sana, di Cirengit, tepatnya di kotak berukuran 5x2 meter. Tapi, kayaknya lebih, sih. Maaf, soalnya saya belum pernah mengukur rumah saya sendiri.

Di dalam rumah berukuran yang belum saya ukur itu terdapat dua kamar, satu di bawah, satu lagi di atas. Saya katakan di atas, karena memang adanya di atas. Atau lebih jelasnya di loteng, karena rumah tersebut dua tingkat. Selain kamar, terdapat juga toilet khusus, dapur dan yang sejenisnya. Kalau mau tahu lebih dalam, berkunjung saja ke rumah. Ciri-ciri rumah saya, yang ada gentingnya. Tanyakan saja sama orang yang ada. Pasti orang yang ditanya bakal pusing.


Saya punya kebiasaan. Ya, kebiasaan. Kebiasaan saya makan bahkan minum. Tidur juga. Tapi kebanyakan saya bernafas, sih. Oh, ya, bermain gitar juga saya biasa. Cuma biasa, belum sampai ke level bisa.

Saat ini, saat menulis tulisan ini, saya dikerumuni roda pedagang dan pedagangnya. Dimana? Tepatnya di belakang kampus. Kampus saya. Tapi bukan punya saya. Maksudnya kampus tempat saya belajar. Ada pedagang mie bakso plus mie ayam, mainan, martabak non jumbo alias mini, cakue, tahu bulat, telor rebus, kanapas cerepes, es teh, cilok goreng, buah-buahan dan cendol, mereka semua berdagang. Katanya sedang cari uang. Andai saya tanya, pasti uang mereka tidak ada yang hilang. Jadi, kalau saya boleh usul sebaiknya uang itu jangan dicari. Teristimewa juga untuk para dosen yang sedang cari uang. Jangan!

Saya adalah salah satu manusia yang cinta Indonesia. Indonesia itu kaya. Kaya akan alamnya dan koruptornya. Indonesia itu indah. Indah akan lukisan pemandangannya dan tontonan teve yang merusak moral para penontonya. Indonesia itu. Ah, Indonesia!

Di Indonesia banyak yang saya tidak suka, salah satunya adalah tentang ayam. Di Indonesia, atau di negara lainnya juga, ayam yang hidup itu pasti hidup. Karena mereka hidup, sering kali saya harus sigap. Ketika saya naik motor, maksudnya motor yang sedang melaju, di pinggir jalan, sering kali saya dikagetkan dengan seekor ayam. Di saat motor akan melewati dirinya, ‘si ayam’ sedang berancang-ancang berlari menyebrang jalan. Namun ketika motor berada tepat di depannya yang sedang berlari untuk menyebrang, eh, si ayam malah kembali sambil mengepakkan sayapnya juga bersuara. Mungkin sedang minta tolong. Untung saja setiap hal itu terjadi, polisi tidak berada di tempat kejadian. Alhamdulillah.

Ya, itulah sekilas tentang saya atau saya yang disekilaskan. Pesan saya, jangan baca tulisan yang ini! Jangan! Tidak bermoral!



Bandung, 28 Januari 2016

Comments

Popular Posts